Sabtu, 29 Januari 2011

Tentang Politik 2011

Pemerintahan SBY-Boediono telah memasuki tahun kedua. Selama periode 2010, banyak isu krusial politik terkait dengan kepentingan rakyat yang tidak mendapat penanganan serius penyelenggara negara. Esensi demokrasi "dari, oleh, dan untuk rakyat" tak lebih dari sekadar retorika. Di mata publik, elite politik cenderung menjadikan rakyat sebagai komoditas politik dan alat legitimasi bagi kepentingan politiknya. Realitas ini tampaknya akan terus berlanjut pada 2011, karena para penyelenggara negara dan elite partai politik lebih sibuk dengan kepentingan politik mereka masing-masing ketimbang mengurusi kepentingan rakyat.
Ada beberapa perkara politik yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, soliditas koalisi. Di sini kedudukan dan peran masing-masing partai yang berkoalisi dalam Setgab (Sekretariat Gabungan) menjadi sangat penting. Tetapi sejauh ini kualitas komunikasi, koordinasi, interaksi, dan sinergi antar-anggota Setgab tergolong rendah.
Kurang eksisnya political equality di antara anggota Setgab, misalnya, akan menjadi ancaman utama bagi soliditas koalisi. Meskipun pemilu presiden dan Pemilu 2014 masih jauh, sulit dimungkiri bahwa aromanya sudah terasa dan mempengaruhi soliditas koalisi. Bagaimanapun, munculnya "konflik" internal Setgab itu memperkuat anggapan bahwa perilaku elite politik cenderung berorientasi hanya pada kekuasaan.
Kedua, konsolidasi partai-partai politik sebagai prasyarat reformasi partai. Ke depan, iklim politik cenderung makin kompetitif. Di tengah resistensi partai politik (parpol) kecil, perampingan jumlah partai tampaknya akan menjadi sebuah keniscayaan. Sebab jumlah partai yang terlalu banyak tidak efektif dan memperlemah kinerja sistem presidensial. Erat kaitannya dengan hal tersebut, perbaikan sistem Pemilu 2014 juga akan terus bergulir.
Tampaknya sistem pemilu distrik relatif lebih diminati. Ke depan, parpol dituntut untuk menunjukkan kualitas sebagai parpol kader karena tak mungkin lagi hanya mengandalkan pada kekuatan tokoh sentralnya. Karena itu, kekuatan parpol akan sangat ditentukan oleh kemampuan dalam merangkul dan mendidik kader mulai dari tingkat akar rumput. Dengan persyaratan yang lebih ketat dan kompetitif, para elite dan kader parpol dituntut untuk membuktikan bahwa partainya bukan partai yang berakar serabut alias tidak memiliki basis massa yang kokoh.
Ketiga, tahun 2011 akan menjadi tahun penentuan hasil revisi paket undang-undang bidang politik. Dalam hal ini, peran para elite politik di DPR akan sangat menentukan apakah pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi lebih berkualitas atau tidak. Suhu politik tahun 2011 akan menaik seiring dengan hasil revisi undang-undang bidang politik. Sebagai bagian dari tanggung jawab bersama, publik --khususnya mahasiswa, LSM, dan pers-- harus melakukan pengawalan agar revisi undang-undang bidang politik berkorelasi positif terhadap pemilu dan demokrasi.
Di banyak daerah, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung masih akan menyisakan sejumlah ekses negatif. Keadaan ini seharusnya direspons lebih cepat oleh pemerintah, dengan melakukan penataan ulang pemilukada. Perbaikan penyelenggaraan pemiulkada yang menyeluruh harus dilakukan di semua tingkat, baik di kabupaten dan kota maupun provinsi.
Keempat, dinamika politik pusat-daerah. Pelaksanaan otonomi daerah menciptakan pola relasi pusat-daerah yang kurang harmonis. Kasus Yogyakarta, misalnya, secara nyata memperlihatkan tingginya resistensi daerah pada pusat. Dinamika interaksi politik pusat-daerah yang relatif fluktuatif dan kurang mesra itu diperkirakan makin tampak pada 2011 bila pemerintah nasional kurang memperhatikan secara serius karakteristik, potensi, dan kapasitas daerah dalam pembuatan undang-undang.
Pelaksanaan otonomi daerah juga akan menimbulkan masalah bila daerah-daerah cenderung memaknai kewenangan secara sempit, sehingga memunculkan raja-raja kecil di daerah dan "korupsi berjamaah". Selain itu, munculnya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah dan kuatnya perselingkuhan antarmereka dalam pemilukada langsung, sebagaimana terlihat selama ini, merupakan penghambat kinerja pemerintah daerah.
Kewibawaan pemerintah nasional akan mengalami ujian berat, khususnya berkenaan dengan munculnya gugatan dari daerah-daerah yang memiliki keistimewaan dan kekhususan. Pembahasan RUU Keistimewaan DIY pada 2011 akan menjadi barometer bagi kewibawaan pemerintah. Demikian pula masalah otonomi khusus Papua. Gugatan Majelis Rakyat Papua kepada pemerintah terkait otonomi khusus Papua, yang dinilainya tidak aplikatif dan tidak menyejahterakan, merupakan tantangan yang harus dicarikan solusi alternatifnya.
Persoalan berat lainnya yang akan dihadapi pemerintah pada 2011 adalah tuntutan daerah-daerah kepulauan (seperti NTT, Bangka Belitung, Riau, Kalimantan, dan Bali) untuk juga memperoleh perlakuan khusus karena masalah yang dihadapi juga cukup berat. Persoalan yang dihadapi pemerintah akan bertambah dengan belum selesainya masalah pengelolaan daerah-daerah perbatasan. Masalahnya, meskipun Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan telah disahkan, PP 12/2010 dan Peraturan Mendagri Nomor 31/2010, publik belum yakin kepentingan daerah perbatasan akan tertangani secara maksimal.
Kelima, reformasi birokrasi. Sejauh ini, nilai indeks integritas nasional sektor pelayanan publik bukan saja belum baik, malah mengalami penurunan. Survei yang dilakukan KPK memperlihatkan, bila pada 2009 indeks integritas mencapai 6,5, pada 2010 turun menjadi 5,42. Karena itu, reformasi birokrasi yang konseptual dan menyeluruh dari pusat sampai daerah merupakan keharusan. Di era teknologi informasi sekarang ini, tak semestinya lagi ada sisi-sisi birokrasi yang menampakkan wajahnya yang gelap, seperti hutan belantara.
Mewujudkan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel adalah prasyarat penting bagi reformasi birokrasi dan kemajuan pemerintahan. Konsistensi dalam mengefektifkan Undang-Undang (UU) Pelayanan Publik dan UU Keterbukaan Informasi Publik juga akan diuji selama tahun 2011. Termasuk mendorong agar grand design reformasi birokrasi bisa secepatnya diterapkan untuk memperbaiki kualitas birokrasi. Partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas akan menjadi "ikon" penting yang melandasi kebijakan pemerintah pada 2011. Arah kebijakan di bidang politik akan didominasi oleh pengedepanan tiga "ikon" itu sebagai respons pemerintah atas tuntutan atau desakan infrastruktur politik.
Meskipun secara umum politik 2011 merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya, ada perbedaan krusial dalam kadar intensitasnya. Para elite politik akan memainkan peran penting dalam menetapkan revisi UU bidang politik. Kompetisi antarpartai dan antarelite akan mewarnai politik 2011. Tahun 2011 ini bisa disebut tahun krusial bagi konsolidasi demokrasi. Bila para elite politik gagal melakukannya, politik Indonesia ke depan akan diwarnai suasana kegaduhan, kekisruhan, serta ketidakpastian politik dan demokrasi.
Agaknya harapan rakyat untuk menyaksikan terwujudnya demokrasi yang sehat dan bermartabat pada 2011 cenderung sulit terlaksana. Masalahnya, sejauh ini dinamika politik dan demokrasi Indonesia masih belum didukung dengan pilar kuat sebagai penopangnya. Pelembagaan pranata politik masih belum benar-benar firmed. Iklim politik kondusif yang diciptakan para elite juga masih sangat minim, sehingga pembelajaran politik dan pendewasaan warga pun tidak maksimal. Demokrasi yang sehat dan bermartabat, di mana budaya damai eksis di tengah-tengah masyarakat, agaknya akan masih menjadi impian.
Bagaimanapun, kenyataan itu tak seharusnya menyurutkan semangat rakyat untuk terus menjadi pengawal terdepan bagi elite politik dan penyelenggara negara. Tanpa itu, rakyat hanya akan menjadi bulan-bulanan politik yang dibutuhkan pada saat pemilu, bak pepatah "habis manis sepah dibuang".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar